Sunday, April 9, 2017

Danur: I can see ghost (2017) film review


Gue udah ngikutin risa saraswati dari dia masih di homogenic di tahun 2005an dan pas ngeluarin ep story of peter bareng sarasvati langsung suka, jarang kan ada band yang gothic-gothic begitu.

Begitu risa ngeluarin buku danur, langsung beli dan begitu terus sampe buku terakhirnya. Ga ada yang kelewat. Eh ada deh satu, apa ya namanya, warna biru covernya. Oh iya Ananta Prahadi.

Begitu denger danur mau dibikin film antara senang dan ragu. Ini seharus kan jadi film horor tapi cerita Risa di buku-buku nya sama sekali bukan horor. Kayanya bakalan jadi cheesy, dan ternyata bener aja kejadian.

Gue baru tau Risa ga tau menahu soal skrip film pas nonton interview di channel MD picture, yah bakalan ga sama kaya novelnya deh, tapi toh kan kebanyakan film yang diangkat dari novel juga ga sama plek sama novelnya, ditambah lagi sutradaranya Awi Suryadi yang bikin badoet, harapan bakal keren timbul lagi, tapi pas inget dia juga yang bikin wewe & JKT48 movie langsung drop lagi hahahahahaha.

Yaudah lah pokoknya gue mau nonton tanpa ekspektasi tinggi

Gue nonton di row A dan Row B bawah gue kosong sekitaran 5 kursi dan ternyata itu gimmick pemasaran film ini, itu jadi kursi 'tribute' untuk Peter CS. Iiiih jadi atut.

Film dibuka oleh Risa yang diperanin sama Prilly Latuconsina lagi duduk di depan piano dengan muka sembab abis mewek, apakah dia baru aja diputusin sama pacar? O o tunggu dulu.

Kemudian adegan berganti, sekarang flashback Risa masih kecil dan lagi duduk di meja makan bareng ibu nya, Eli (Kinaryosih) yang kalo diliat dari baju nya adalah seorang pegawai negeri.

Percakapan diantara ibu sama anak ini standar sinetron lah, ga genuine percakapan ibu-anak di hari ulang tahun anaknya.

Kemudian adegan berganti lagi jadi adegan Risa yang tiup lilin ulang tahun sendirian karena ibu nya yang tadi pagi janji mau pulang cepet ternyata belum dateng juga.

Adegan barusan agak aneh, kenapa Risa harus sendirian, padahal ada dua pembantu di rumah itu, at least mereka harusnya ada disana lah, ooh supaya terkesan Risa antisosial ya? Okedeh gapapa

Doa Risa kecil sangat sederhana, dia cuma mau punya teman, beruntung kau Risa, sepertinya doa nya langsung didengar Tuhan, setelah itu Peter, William & Janshen muncul.

Apapun alasannya, ini sudah melenceng dari novel Danur, karena sebenarnya teman hantu Risa ada 5, selain 3 nama itu ada Hendrick dan satu lagi lupa nanti googling dulu ya.

Ini kan film Ran, gabisa sedetail novel dong. Oooh gitu? Kalo novel harry potter karakter Ron Weasley hilang kira-kira gimana tuh?

Tapi yaudah gapapa, 3 hantu aja cukup deh. Oh iya, menurut Risa sebenarnya sebelum MD udah ada beberapa PH yang nawarin untuk danur dijadiin film tapi semua ditolak karena gabisa menuhin syarat dari Risa & 5 teman hantu nya, yaitu jadiin 5 hantu itu sosok pahlawan dan hanya MD aja yang bersedia.

Hantu jadi pahlawan? Pasti cheesy, betul. Cheesy banget, malahan porsi si hantu-hantu ini sedikit banget dan ternyata juga ga pahlawan-pahlawan amat, karena terjadi kontradiktif antara peran mereka saat Risa kecil dan saat Risa dewasa. Beneran asal jadi aja nih skripnya.

Selain itu hal yang bisa dikritisi adalah timeline terjadi nya film ini, kalau ini adalah cerita yang diambil dari buku Danur harusnya film nya juga ngambil setting waktu sesuai sama buku nya dong, tapi ternyata engga, ibu nya Risa punya handphone baru, dan plat nomor mobil juga plat mobil baru. Entah lah.

Saat ini ditulis, sudah lebih dari 1.5jt penonton yang nonton danur di bioskop, gue cukup yakin 75% adalah fans prilly latuconsia dan sepertinya akan naik terus jumlah penontonnya sampai hampir 2jt.

Gue berharap kalau misalnya buku Risa Saraswati mau difilmkan setidaknya Risa tau ceritanya walaupun bukan dia yang menulis.

Untuk akting Prilly bagus kok, jadi fans nya jangan marah-marah ya.

Overall bintang 2.5 dari 5 bintang

Saturday, April 8, 2017

BERTOLERANSI

Berawal dari pertanyaan seorang teman yang cukup menggelitik

"Lo ga ikutan demo-demo bela islam Ran?"

Gue saat itu menjawab bahwa Allah, Tuhan gue ga butuh dibela, gue kaya anak SD yang coba bantuin penelitian Profesor. Ga ngaruh. Kemudian ternyata ada pertanyaan kedua yang lebih menggelitik

"Lo Islam apa Ran?"

Saat itu gue malah bingung sendiri dan mikir gue ini Islam apa ya kira-kira dan apakah gue harus menggolongkan diri gue sebagai Islam tertentu, padahal gue tau seharusnya penggolongan dalam Islam itu ga ada.

Tapi gue jadi penasaran, gue ini Islam apa ya sebenarnya.

Atau malah gue munafik karena gue merasa Allah tidak perlu dibela? Mungkin bukan, tapi banyak pelabelan begitu akhir-akhir ini kan?

Kemudian hal ini bikin gue berpikir ternyata toleransi beragama bukan hanya antar orang yang berbeda agamanya, tapi juga antar orang yang beragama sama namun berbeda pandangan dalam beragamanya, dan gue rasa ini lebih urgent karena hal ini malah mengakibatkan orang di luar agama tersebut berpandangan bahwa agama tersebut tidak bisa bersatu bahkan dengan sesama pemeluk agama itu.

Gimana logika nya kita bisa bertoleransi agama antar umat beragama kalau umat di agama itu tidak bisa bertoleransi?

Ini murni pendapat pribadi gue aja ya, kadang diam lebih baik daripada bersuara tapi membuat kondisi tidak kondusif, bukan kah lebih baik jalan bersama-sama dan saling berpegangan tangan itu lebih baik daripada saling pukul? Padahal ternyata yang dibela adalah sesuatu yang sama, tapi memang beda aja cara kerjanya.

Tapi itu tetap menyisakan pertanyaan yang sama: gue ini Islam apa?

Kemudian gue merenung dan mencoba kembali ke masa-masa gue SMP, saat itu gue bersekolah di SMP yang bersistem pesantren, bukan ini yang mau gue ceritakan sekarang, tapi kebiasaan gue dan teman-teman saat jam pelajaran kosong. Kami hampir selalu ke ruang multimedia sekolah untuk menonton dvd entah itu dvd Harun Yahya, sejarah Nabi, kerusuhan poso sampai debat agama. Hal terakhir adalah sesuatu yang sangat gue nikmati, disitulah gue mulai mengenal Syeikh Ahmad Deedat, seorang India yang hapal hampir semua kitab suci agama besar di dunia. Beliau sering melakukan debat agama dengan pemuka agama lain, mostly Kristen.

Sebagai anak pesantren dengan fasilitas hiburan yang sangat minim, gue selalu menikmati waktu-waktu nonton dvd ceramah dan debat agama beliau, hebat banget bisa debat sama agama lain dengan 'senjata' kitab agama tersebut, bukan Al Quran, karena ya buat apa debat sama agama lain tapi 'senjata' nya Al Quran, kan orang itu ga percaya Al Quran, sampai ada saat nya gue mau jadi seperti beliau, menggeluti ilmu perbandingan agama, walau ga gue seriusin.

Setelah nonton debat antar agama Syeikh Ahmad Deedat, ada seorang teman yang ngasih gue sebuah buku, judulnya The choice dengan nama Ahmad Deedat sebagai penulisnya, senang banget ditambah lagi ada bagian di buku itu dengan nama "bibel combat kit" yaitu sebuah bab yang bisa jadi acuan untuk berdebat dengan non islam, dan saat itu kebetulan gue punya pacar yang beragama kristen atau katolik gue lupa, dan dia cukup taat dan paham dengan dalam agamanya, saat itu setiap kami ada kesempatan berkomunikasi, kami selalu menyempatkan debat agama, konyol memang tapi seru hahaha.

Sepertinya saat itu semua debat Syeikh Ahmad Deedat yang tersedia di direktori DVD SMP gue sudah gue tonton semua dan saat itu belum jamak youtube jadi agak susah untuk mencari lagi video debat beliau, dan ternyata beliau juga sudah meninggal pada tahun 2005 setelah sakit stroke selama 9 tahun, which is selama ini gue hanya menonton video beliau yang lama.

Setelah menjauh dari hal-hal yang berbau perbandingan agama dan teologi, gue akhirnya mulai nonton ceramah Dr. Zakir Naik saat SMA yang konon beliau mengaku sebagai murid Syeikh Ahmad Deedat, overall beliau berdua cukup mirip dan gue sangat happy nonton ceramahnya.

Sampai akhirnya gue berkesempatan nonton Dr. Zakir Naik secara live di Ponorogo hari Selasa kemarin tanggal 4 April 2017 di Ponorogo dengan misi gue harus bertanya ke beliau sebenarnya gue ini Islam apa, apakah sebenarnya Islam ada cabangnya, tapi gue kurang beruntung, antusiasme penanya di ceramah beliau sangat tinggi, gue ngantri bertanya lebih dari sejam dan tetap ga ada kesempatan karena bisa dibilang panitia malam itu kurang oke dalam persiapan, kalo lo ada waktu coba tonton saat sesi tanya jawab, beliau sering kali protes karena entah microphone, monitor atau translator tidak sesuai standar ceramah beliau, alhasil sekitar satu jam dari total ceramah beliau diisi oleh protes beliau karena faktor seperti yang gue sebutin di atas.

gue pulang ke Semarang dengan pertanyaan yang masih sama.

sebenarnya gue ini Islam apa?

Kalo lo Islam apa?

Tapi bisa kah kita ga usah mengkotak-kotakan Islam itu sendiri? bisa kah kita bertoleransi agama dengan orang yang punya agama yang sama? dengan tidak mengkafirkan dan memunafikan? harusnya bisa.

Setelah itu kita bisa berbicara toleransi antar umat beragama.

Bertoleransi sesuai tuntunan agama kita.

Saling menghormati meskipun beda.